Yang Selalu Hadir di Saat-Saat Terendahku
from Living With The Band

STAYC Isa as Alicia Isabella Joelan
Wistara sibuk menyantap makanannya siang itu di kantin kantor. Beberapa jam lagi ia harus mengikuti evaluasi bulanan, sekaligus evaluasi akhir untuk menentukan apakah dirinya bisa mengikuti seleksi band yang diadakan label dua minggu lagi. Jika penilaiannya pada evaluasi bulan ini memuaskan, maka ia dinyatakan layak mengikuti seleksi band. Dan jika ia dinyatakan layak, maka mimpinya menjadi gitaris ternama sudah selangkah lebih dekat.
“Hari ini pada mau nampilin lagu apa?” tanya Jayden, teman seumurannya yang juga merupakan peserta pelatihan seangkatan dengannya.
“Rahasia lah. Masa gue kasih spoiler sekarang,” jawab Jake sewot — pemuda yang juga seangkatan dengan Wistara.
Wistara menutup rapat mulutnya, berusaha menahan tawanya. Sedangkan pemuda lain di sebelahnya — bernama Satya — kini tertawa puas melihat wajah masam Jayden karena pertanyaannya ditolak mentah-mentah oleh Jake. Erwin dan Samudera — yang lebih tua dari dari keempat pemuda lainnya — kini juga sedang berusaha menahan tawa. Sayangnya Erwin gagal dan malah tersedak sendiri oleh makanannya.
“Monyet lo!”
“Gue manusia?!”
Di tengah keributan kecil dari mejanya, netra Wistara tak sengaja temukan sesosok gadis dengan balutan blazer monokrom dan rok pendek di atas lutut warna hitam. Gadis dengan rambut hitam panjangnya itu memasuki area kantin dengan seorang pemuda yang tingginya hampir sama dengannya membuntuti dirinya. Wajah mereka mirip, seperti sepasang kakak-adik. Wistara mengerutkan dahi semakin ia sadari dirinya tak pernah lihat mereka.
“Eh, ada Alicia!”
“Mana?!”
“Itu, sama si Gavian!”
Wistara tatap teman-temannya dengan wajah bingung. Alicia? Gavian? Nama-nama itu semua asing di telinganya. Apa dua orang yang baru masuk ke kantin itu adalah Alicia dan Gavian yang dimaksud mereka?
“Siapa sih?” bisik Wistara pada Samudera di samping kirinya.
“Siapa? Alicia sama Gavian?”
“Iya, yang dipanggil Jayden sama Jake barusan.”
Samudera telan sebentar makanannya, kemudian menjawab, “Anak-anaknya Pak Joel, kalau nggak salah. Yang Alicia itu seumuran elo, kok. Dari beberapa hari lalu rajin ke mari. Denger-denger karena sudah mulai dilatih buat nerusin perusahaan. Mungkin dia juga bakal ada di evaluasi nanti.”
Wistara makin kerutkan dahi. Di usia segini sudah diajarkan untuk meneruskan perusahaan? Begitu kah pola pikir pengusaha? Ah, Wistara sama sekali tidak dapat memahami hal itu.
Ia perhatikan sosok Alicia sampai pergi dari area kantin. Netranya seolah tidak bisa lepas dari gadis cantik yang muncul secara tiba-tiba di akhir pekan itu. Dahinya kembali terkerut ketika ia sadari dirinya ternyata terlalu jauh pikirkan soal Alicia-Alicia itu. Apa-apaan dengan dirinya?
“Eh, Wista, nama lo nggak ada.”
Wistara kepalkan tangannya kuat-kuat ketika netranya gagal temukan namanya di papan pengumuman. Beberapa orang di sampingnya mulai berbisik, sebut dirinya korban nepotisme Jayden. Beberapa juga sebut dirinya lebih layak ada di dalam daftar.
Pikiran Wistara seketika berkecamuk. Segera ia tinggalkan area papan pengumuman itu, tinggalkan area lantai satu, dan masuki lift yang kebetulan hanya dirinya di dalam. Ia secara acak tekan tombol di sana — ia menekan tombol nomor 3— dan biarkan lift membawanya ke tempat dituju.
Begitu pintu lift terbuka, ia geret dirinya melangkah tak tentu arah. Ke mana pun asal ia bisa sendirian. Dan untunglah lantai tiga yang merupakan area perkantoran dan ruang latihan individu itu sedang sepi. Maka Wistara bawa dirinya ke salah satu ruang individu kosong, duduk di salah satu kursi, dan berusaha kendalikan emosinya yang memuncak.
Wistara dengan segala perasaan yang berkecamuk segera lepaskan kacamatanya, tempelkan dahinya di atas meja, dan berteriak sekeras mungkin guna lepaskan semua energi negatif dalam dirinya. Sejatinya dirinya sangat ingin menangis, tapi entah mengapa tubuhnya malah tidak produksi air mata apa pun.
“Halo?”
Suara asing masuki indra pendengaran Wistara, buat dirinya buru-buru mendongak dan biarkan netranya bertubrukan dengan milik seorang gadis cantik dalam balutan kemeja putih dan celana jeans biru dongker. Wistara mengerutkan dahi, sedikit kesal karena Alicia-Alicia yang selalu hadir dalam audisi band tiga babak kemarin kini menginterupsi dirinya.
“Apa?” tanya Wistara ketus. Masa bodoh dengan posisi anak CEO. Gadis di depannya itu buat dirinya makin emosi karena tidak kunjung menyuarakan niatnya berada di depan ruangan.
“Lo teriak-teriak lupa nggak nutup pintu. Suara lo bikin kaget orang-orang di sana,” tegur Alicia.
“Anjing!” umpat Wistara pelan, kesal sendiri dengan kebodohannya yang kini buat dirinya jadi malu.
Wistara hendak berdiri untuk menutup pintu, namun Alicia lebih dulu ikut masuk ke dalam ruangan dan tutup pintu di belakangnya. Wistara dibuat melongo dengan tingkah aneh Alicia. Ingin sekali dirinya marah, sayang niatnya terhenti lagi ketika gadis cantik di depannya itu tiba-tiba mengeluarkan beberapa bungkus permen dari saku celananya.
“Wistara, kan? Yang babak terakhir kemarin main lagu Kiss It Better-nya Rihanna?” tanya Alicia.
Dengan kepala penuh tanda tanya, Wistara mengangguk mengiyakan. Alicia di hadapannya kini tersenyum. Tangan gadis itu bergerak mengambil permen di atas meja, kemudian ia buka bungkusnya dan sodorkan isi permen tersebut kepada Wistara.
“Makan permen deh. Siapa tahu bisa bantu ngeredam emosi,” tawar Alicia.
“Gue…nggak suka yang manis-manis.”
Alicia mengerjapkan matanya, sedikit terkejut dengan penolakan yang diberi oleh pemuda di hadapannya. Gadis itu lantas tertawa kecil, gugup karena dirinya baru saja menerima penolakan. Jari-jemari lentiknya otomatis memasukkan permen yang dibawanya ke mulutnya, biarkan indra pengecapnya rasakan rasa manis dari makanan kecil berwarna merah itu.
“Lo ngapain sih, ikut masuk ke sini?” tanya Wistara, masih dengan nada suaranya yang agak ketus. Tentu saja ia masih dalam mode ketusnya, salah siapa mengikutinya masuk ke dalam ruangan kecil ini? Alicia bisa saja, kan, tinggal menutup pintunya tanpa harus berhadapan dengan dirinya yang sedang dalam keadaan emosi.
“Lo tahu gue siapa, kan?” tanya Alicia balik, membuat Wistara rasa-rasanya makin dibuat bingung dan emosi.
“Ya, tahu. Lo Alicia, anaknya Pak Joel. Memangnya kenapa?”
“Sebenarnya gue juga ikut andil menilai kalian sih selama audisi kemarin.”
Kali ini giliran Wistara yang mengerjapkan matanya. Bingung sekaligus terkejut dengan fakta yang disuarakan Alicia barusan.
“Ya terus kenapa?” tanya Wistara. Satu-satunya kalimat yang bisa ia pikirkan sekarang hanya itu.
Alicia berdehem sejenak, kemudian kembali buka mulut dan memberi jawaban, “Sebenarnya gue ngasih lo poin tinggi. Yaa, gue berharapnya lo lolos sih. Tapi ternyata yang lain kasih poin tinggi ke orang lain.”
Wistara masih diam, berusaha cerna dengan baik segala ucapan gadis cantik di depannya. Alicia tampak memainkan ujung rambutnya, permen di dalam mulutnya juga terlihat bergerak dari sisi pipi kanan ke pipi kiri, begitu terus selama beberapa detik keduanya tak kunjung bersuara.
“Gue tahu lo kecewa, tapi tolong jangan nyerah, ya? Gue bakal pastiin lo bisa debut, mungkin setahun atau dua tahun lagi. Lo sekarang aja sudah bagus, apalagi beberapa tahun lagi. Jadi tolong, jangan nyerah, ya, Wista?”
Rentetan kalimat itu keluar dari mulut Alicia bak sebuah sihir dan berhasil buat Wistara menurut tanpa banyak tanya. Emosinya yang tadi memuncak dan seolah siap meledak, seakan-akan mereda dan kini kembali bersembunyi dalam tanah. Tanpa sadar, Wistara bisa rasakan matanya memerah dan air mata segera turun dari sana.
“Eh, jangan nangis! Aduh, gue nggak bawa tisu lagi.”
Alicia panik sendiri, sedangkan Wistara kini sibuk tundukkan wajah dan berusaha tutupi wajahnya. Sambil sibuk usap air mata dengan lengan hoodie abu-abunya, Wistara berusaha menahan tawanya. Alicia di hadapannya benar-benar lucu. Bahkan gadis itu sampai bergegas keluar dari ruangan, sepertinya pergi mencari tisu.
Sejak peristiwa itu, entah bagaimana Wistara dan Alicia jadi sering berpapasan di kantor. Mereka bahkan kerap berpapasan di kampus karena kebetulan masuk di fakultas yang sama. Biasanya mereka hanya akan saling melirik atau lempar senyuman. Mengobrol jika diperlukan atau jika memang hanya ada mereka berdua di ruangan yang sama.
Lucunya lagi, Alicia selalu hadir di saat-saat terendah hidup Wistara. Kadang Alicia tidak akan bersuara dan hanya temani Wistara duduk di pojok ruang latihan, saling diam dan berusaha isi kesepian dengan presensi masing-masing. Wistara pun demikian. Ketika Alicia sedang dalam titik terendahnya, pemuda itu akan diam-diam berikan permen stroberi kesukaan Alicia, dan kadang lemparkan lelucon aneh untuk hibur si anak CEO itu.
Hal itu berlanjut sampai mereka kini menjadi artis dan manager. Sebagai teman seumuran yang kerap bertengkar karena urusan sepele. Sebagai kekasih yang saling berusaha untuk memberi afeksi, dan yakinkan satu sama lain bahwa mereka selalu ada kapan pun dibutuhkan.